Wonderful SAI Meruyung #1

Oh Meruyung!! Is wonderful!!”
“Meeruyung is wonderfuuuul.”
“Meeruyung is wonderfuuuul.”
“Meeruyung is wonderfuuuul.”
“Meruyung is wonderful!!”

Paragraf pembuka di atas adalah yel-yel yang menjadi inspirasi tulisan ini. Yel-yel sederhana di atas truk tronton menuju Sukabumi sekira 1 tahun lalu. Tiga kata yang saya pikir cukup untuk menggambarkan apa yang saya ceritakan sekarang.

Sebuah Sekolah

Meruyung adalah lokasi sebuah sekolah di kawasan Kota Depok. Namanya Sekolah Alam Indonesia cabang Meruyung atau lebih familiar dengan nama SAI Meruyung. Sekolah ini.. jangankan lokasinya, namanya pun saya baru dengar. Tapi ajaibnya, saya iyakan dalam hati saat suatu hari saya temukan lowongan guru Al Quran di sebuah Whatsapp group 2 tahun lalu.

Alhamdulillaah, accepted! Saya diterima jadi guru Al Quran di SAI Meruyung setelah melalui proses seleksi belasan/puluhan pelamar lainnya di SAI Studio Alam TVRI. Selanjutnya saya datang pertama kali ke SAI Meruyung. Alhamdulillaah, nyasar! Padahal lokasi samping banget Jalan Raya Parung Bingung. Padahal saya sudah pakai GMap.. Ah, laki-laki memang tidak selalu pandai membaca peta. Finally, Allah menolong saya dengan orang-orang baik di tepi jalan. Katanya kelewat. Oh, ternyata ini sekolahnya.. -di luar ekspektasi, haha-

Tidak ada masjid, adanya aula. Tidak ada sungai, adanya kolam ikan. Tidak ada hutan, adanya kebun dan segelintir besar pepohonan. Tidak ada kelas berlantai dan dinding keramik atau tembok, adanya saung lantai dan dinding kayu. Tidak ada lapangan semen, adanya lapangan tanah berumput. Tidak ada bel masuk sekolah, adanya teriakan anak-anak kelas, “Kelas 3 masuuk…”. Tidak ada seragam, adanya pakaian main. Tidak ada sepatu warrior, adanya sepatu boots. Tidak selalu belajar di kelas, kadang ada outing ke suatu tempat, menanam di kebun, jualan, menangkap serangga, outbond, camping dan trekking di alam bebas.

Cinta dan Pengalaman

“Jangan kira cinta tumbuh sebab banyaknya pertemuan, melainkan cinta tumbuh sebab kesejiwaan.”

Kurang lebih seperti itu ungkapan dari Sang Maestro Klasik soal percintaan, Khalil Ghibran. Saya dapati kata-katanya dalam tulisan dan ceramah Ustadz Salim A. Fillah. Memang ada benarnya juga sih, bahwa cinta itu ga selalu karena pandangan pertama. Bukti sederhananya, berapa banyak orang yg berpapasan dengan kita dan berapa yang akhirnya jadi pasangan hidup? Ya, kan? Begitu juga dengan kisah cinta saya dengan SAI Meruyung.

Awal-awal saya mengajar, kikuk dan krik-krik. Bagaimana tidak, saya harus mengajarkan anak-anak SD sedang biasanya saya mengajarkan mahasiswa. Biasanya saya hanya tinggal menjelaskan, sekarang saya harus menarik perhatian agar fokus ketika dijelaskan, menyederhanakan bahasa agar mudah dipahamkan. Kadang sambil bercanda tawa bahagia, kadang sambil meninggikan suara -astaghfiruLlaah-. Over all, alhamdulilah, hari-hari berlalu bersama pengalaman-pengalaman baru, bersama cinta yang terus tumbuh malu-malu. Inikah kesejiwaan itu?

Ada banyak pengalaman yang semakin menguatkan cinta. Bersama anak-anak misalnya. Pengalaman jadi sasaran serangan keroyokan anak-anak SD 1 yang sekarang sudah SD 2. “Serang, Pak Egooo!!!” Kata salah satu di antara mereka. Lalu yang lain bertubi-tubi melepaskan energi mereka dalam bentuk tendangan dan pukulan. Kadang saya pura-pura menyerah, tapi kemudian balik melawan. Mengalahkan. Alhasil, tak hanya sekali, mereka selalu kembali untuk melampiaskan kekesalan mereka yang tak pernah menang melawan saya. Haha..

Atau.. pengalaman disapa anak-anak TK dengan senyum menggemaskan. “Pak Egooo..” Ya Allah, gitu doang padahal, kok bikin “melting” ya. Alhamdulillaah, terima kasih sapaannya, Nak sholih sholihah:’)

Atau.. ketika menyambut anak-anak di gerbang sekolah. “Assalaamu’alaykum..” sambil memberi ekspresi sumringah untuk menyalurkan semangat kepada mereka. Saya kenalkan juga kepada mereka salam “ceutek!”, salam sambil jentikkan jari. Mereka ketagihan. Hehe. Kemudian mereka berlari dengan senangnya menuju kelas. Dengan sepatu boots-nya yang kebesaran, he..

Atau.. menyaksikan presentasi anak-anak saat selebrasi pembelajaran, seperti Indonesian Heritage Exhibition (IHE), Science Fair, Panen Raya, Language Fair, dan lain-lain. Dan yang baru adalah Minikonser tanggal 26 November 2017 ini. Gaya mereka selalu mengesankan. Saya waktu seusia mereka, rasanya belum berani untuk bisa perform seperti mereka.

Atau.. Surprise dari beberapa anak. Ada yang ujug-ujug datang memberi Al Quran. Ada yang memberi komik Detective Conan. Ada yang memberi coklat dan sepucuk surat, “Pak selamat ya, aku senang sekali melihat Bapak menikah dengan tante Farih.
Tapi aku minta maaf karena tidak bisa datang pas pernikahan Pak Ego.” –Alhamdulillah, saya salah satu jomblo yang berhasil mengakhiri masa bujang ketika di SAI Meruyung

Atau.. pengalaman bersama rekan-rekan fasilitatornya. Ah, ini banyak sekali. Seandainya saja waktu itu saya tidak pulang duluan, entah karena ada keperluan atau sayanya yang terlalu pendiam. Tetapi sejauh ini, alhamdulillaah, banyak sekali hikmah yang Allah berikan selama saya berukhuwah. Terutama ketika kegiatan susur pantai dari Sukabumi ke Banten. MasyaaLlaah, nguatin ukhuwah banget ini.. -bersambung-

 

Menunda Kebaikan

Seandainya setiap nasihat kebaikan hanya boleh disampaikan setelah orang menjadi baik atau alim, niscaya tidak akan ada satu nasihat pun di atas bumi ini.

Seandainya setiap sedekah hanya diberikan setelah harta berkecukupan, niscaya hanya ada sedikit orang yang bersedekah.

Seandainya setiap perempuan hanya boleh berjilbab setelah berpemahaman agama yang baik, niscaya hanya ada sedikit perempuan yang mengenakan jilbab.

Seandainya setiap orang membaca Al Quran dilakukan setelah mengerti bahasa Arab, niscaya hanya ada sedikit orang yang membaca Al Quran.

Dan seandainya setiap laki-laki boleh menikah setelah harta dan agamanya tercukupi, niscaya hanya ada sedikit laki-laki yang berani melamar perempuan.

Masih banyak lagi hal yang kerap dinilai tidak pantas dilakukan oleh orang-orang yang “dianggap” belum pantas. Kita seperti memiliki semacam tolak ukur subjektif yang disepakati bersama dalam menilai pantas atau tidaknya seseorang melakukan sesuatu. Bahkan meskipun yang dilakukannya adalah kebaikan. Mau tidak mau ukuran kepantasan itu harus terpenuhi jika apa yang dilakukannya ingin diterima secara layak.

Disadari atau tidak, ukuran kepantasan yang sangat relatif itu sering menjebak kita pada perbuatan menunda. Kita sering menunda menasihati, menunda bersedekah, menunda berjilbab, menunda membaca Al Quran, atau menunda lamaran; hanya karena belum baik. Belum baik akhlaknya, pemahaman agamanya, bahasa Arabnya, atau hartanya.

Semua penundaan itu malah akan menyebabkan ketidakbaikkan dan perlahan menciptakan kehancuran. Karena selamanya ukuran kepantasan -yang entah darimana asalnya- tidak akan terpenuhi. Bayangkan saja, seandainya perempuan menunggu baik untuk berjilbab, maka entah kapan ia akan berjilbab. Mungkin kain kafan akan menjadi jilbabnya yang pertama. Seandainya yang boleh menasihati hanya para ustadz di masjid-masjid, maka banyak sekali pelajaran yang hilang, yang disampaikan preman di terminal bus, pemabuk di warung kopi, atau banci di perempatan jalan. Dan seandainya laki-laki yang boleh menikahi perempuan hanya yang kaya harta, maka alangkah kasihannya banyak laki-laki yang membujang sampai mati karena tidak kunjung mapan.

Jadi, lakukan saja selama hal itu baik tanpa perlu menunggu. Kita tidak perlu menunda hanya karena kita merasa belum baik, belum paham agama, atau belum-belum yang lainnya. Sebab, terkadang suatu proses hanya perlu diawali dengan melakukan, tanpa mempedulikan orang-orang yang mencibir dan merendahkan.

Biar saja, itu urusan mereka dengan Tuhan. Kita yang belum baik ini fokus saja berusaha menjadi baik. Toh manusia seperti kita ini memang tidak ada yang benar-benar baik, sebagaimana tidak ada yang benar-benar buruk. Satu hal yang pasti adalah Tuhan selalu senang dan selalu memberi kesempatan pada orang-orang yang berkeinginan menjadi baik.

Menang

Sadarkah, kita adalah segelintir manusia beruntung yang telah berhasil memenangkan persaingan. Kamu berhasil memenangkanku atas perempuan lain yang bersaing dalam pilihanku. Dan aku berhasil memenangkanmu atas laki-laki lain yang bersaing mendapatkan hatimu dan restu ayah bundamu.

Pantas orang-orang mengucapkan selamat kepada kita😁
Semoga Allah berkahi kemenangan ini.

The Protective Dad

Cerita ini untuk keikutsertaan saya dalam Challenge Oktober di IOC Writing Project yang bernama “Penulis Tamu”. Semoga blog yang saya kunjungi tidak merasa kecewa dengan cerita saya ini ^^

Tema : Ayah dan Anak
Judul : The Protective Dad
Penulis : Dyah Yuukita (dyahyuukita.wordpress.com)

Pukul 03:00 pagi, aku sudah terbangun dan bersiap mengambil air wudhu untuk segera solat tahajud. Tepat saat aku berjalan ke kamar mandi, ayah sudah ke luar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah itu itu tandanya ayah sudah berwudhu terlebih dahulu. Aku pun segera masuk ke kamar mandi saat ayah ke luar dari kamar mandi.

Selesai berwudhu, aku mengambil mukena juga sajadah yang tergantung di belakang pintu kamarku dan berjalan mengarah ruang tengah di mana ayah telah menantiku. Dengan sedikit menguap dan mengucek-ngucek mataku, aku berjalan ke arah ayah.

“Lawan kantukmu !” Tegur ayah yang membuat aku terkaget.

“Ah … Iya, ayah …” Sahutku dengan melototkan mataku agar tak kantuk.

Kami pun melaksanakan solat tahajud berjamaah. Ya, kami hanya tinggal berdua. Ayah menjadi single parent setelah ibu meninggal saat melahirkanku. Ayah sangat menyayangi aku dan begitu selektif pada sesuatu hal yang menyangkut diriku. Ayah pasti selalu ikut bila aku pergi ke luar rumah. Ayah selalu berada di sisiku. Awalnya aku tidak terlalu keberatan dengan sikap ayah itu. Namun semakin aku dewasa, ayah semakin membatasiku dengan dunia luar.

Selesai solat tahajud, aku dan ayah membaca Al-Quran sembari menunggu adzan subuh. Sejak umur tujuh tahun, ayah sudah mengajarkanku solat dan membaca juga memahami Al-Quran. Ayah selalu ingin aku mendalami agama Islam sebagai penuntun hidupku. Ayah benar-benar hebat. Hampir tiap hari ayah selalu mengajariku pelajaran sekolah bila aku belum paham dan juga mendatangi guru les musik di rumah sebagai teman bila ayah sedang pergi ke kantor.

Kini aku menjadi seorang mahasiswi semester 2 di mana ayah selalu mengawasiku dari jauh. Itu karena ayah sedang banyak proyek. Aku pikir aku akan bernapas dengan sedikit lega karena ayah tak selalu berada di sisiku. Namun nyatanya, aku salah. Ya, ayah memintaku mengabari ayah setiap jam. Aku akan ke mana, di mana aku sekarang, apa yang aku lakukan. Meskipun hal itu sangat merepotkan bagiku tapi aku harus melakukannya. Kalau tidak, ayah akan marah besar padaku.

“Ayah, nanti aku kerja kelompok di rumah temen ya.” Aku menelpon ayah memberitahukan kegiatanku selanjutnya.

“Kerja kelompok ? Di rumah temen ? Temen yang mana ? Gak, nak. Ayah gak izinin kamu kerja kelompok di rumah temenmu itu.” Tekan ayah.

“Ayah !” Rajukku.

“Gini aja deh. Kerja kelompoknya di rumah kita aja. Nanti ayah bawa oleh-oleh untuk kalian.”

“Iya ayah …” Sahutku dengan nada yang tak semangat dan mematikan ponselku.

Aku melihat ke arah teman-temanku yang sedari tadi memperhatikanku menelpon ayah. Aku hanya menarik napas pendek.

“Kamu gak dibolehin. Ya kan ?” Sahut temanku yang berkaca mata dengan jilbab abu-abunya.

Aku hanya tersenyum tipis merasa tak enak pada tiga temanku.

“Sudah kuduga. Ini bakalan jadi sulit.” Tambah seorang temanku yang tergerai rambut gelombangnya yang berwarna coklat. Dia berasal dari eropa yang menimba ilmu di Indonesia.

“Hehe …” Aku hanya tertawa kecil.

“Jadi … Kita harus ke rumahmu buat nyelesaiin tugas ini. Iya kan ?” Sahut temanku satunya lagi dia memakai jilbab putih yang tergerai di atas kepalanya.

“Begitulah …” Aku hanya tersenyum lebar, semua perkataan temanku benar. Ketiga temanku ini sudah mengetahui seluk beluk aku yang mempunyai ayah yang protektif. Ya, tentu mereka mengetahuinya. Bagaimana tidak ? Tiap jam aku melaporkan kegiatanku ke ayah di depan mereka.

“Yaudah ayo kita pergi sekarang nanti gak kelar tugas kita.” Sahut temanku yang berjilbab ungu dan berkacamata.

Kami pun pergi menuju rumahku. Temanku yang berasal dari eropa itu langsung mengambil mobilnya yang berwarna merah di parkiran kampus. Kami menunggu di luar kampus. Setelah mobil merah itu ke luar dari kampus. Kami pun segera masuk dan langsung menuju ke rumahku. Tugas kami ini banyak sehingga kami tidak bisa bersantai-santai karena tugasnya akan dikumpulkan esok hari. Glek. Dosen kami yang satu ini benar-benar perfect. Beliau tak segan-segan memberikan tugas yang setumpuk dan dikumpulkan esok harinya. Bila tidak sesuai dengan keinginannya maka dia meminta untuk diulang. Untungnya beliau masih ada sisi baiknya. Ya, tugas yang diberikan itu dikerjakan secara perkelompok. Setidaknya kami masih bisa bernapas lega.

Tak berapa lama, sampailah kami di sebuah rumah berlantai dua yang bercat putih yang terlihat sederhana, di depan halamannya ditumbuhi tanaman dan juga bunga berwarna-warni yang terawat dengan baik, di tengah tanaman dan bunga itu terdapat air yang mengalir gemericik dari bambu, pagarnya bercat hitam dan tak berdebu, inilah rumahku. Segera aku turun dari mobil membuka pintu gerbang yang dibantu oleh dua temanku yang berhijab. Dan mobil merah itu pun masuk ke dalam rumahku terparkir di sana. Ketiga temanku ini tampak takjub melihat halaman rumahku. Inilah racikan ayahku yang keren. Haha.

Kami berempat pun masuk ke rumahku. Tentu saja aku yang selalu membawa kunci cadangan membukakan pintu rumah. Kami berjalan menuju ruang tamu yang berdekorasi klasik modern. Ayah yang menatanya sehingga tampak apik dan mempesona bagi siapa pun yang melihatnya. Termasuk diriku. Meskipun aku sudah terlalu sering melihat dekorasi ruang tamu, aku sendiri saja tidak pernah merasa bosan melihatnya.

“Hemmm … Kalian mau minum apa ?” Tanyaku pada ketiga temanku yang masih berdecak kagum melihat segala sisi rumahku.

“Apa aja, Ka.” Sahut temanku yang berjilbab putih, Anggun.

“Aku minum apapun yang kamu sediain kok.” Tambah salah seorang temanku yang berhijab ungu yang bernama Gita dengan sedikit candanya.

“Aku minum yang dingin boleh kan ?” Tanya teman buleku, Jodie.

“Oke …” Aku pun pergi ke arah dapur menyiapkan minuman juga makanan kecil yang tersimpan di kulkas yang letaknya di dapur.

Sementara itu, teman-temanku yang masih takjub dengan penataan ruangan di rumahku. Mereka pun duduk melepaskan rasa lelah sembari mengeluarkan beberapa buku juga laptop dari tas mereka.

“Pantes aja ya si Ariska betah banget di rumah.” Ucap Gita.

“Iya, aku kalo jadi Ariska betah banget deh di rumah. Ariska beruntung ya punya ayah yang ahli banget ngedekor rumah.” Sahut Anggun.

“Iya tapi sayangnya ayahnya Ariska terlalu protektif.” Tambah Jodie yang membuyarkan Gita dan Anggun yang sedang terpukau.

“Pasti Ariska merasa berat punya ayah yang protektif. ” Ucap Gita membenarkan perkataan Jodie.

“Kasian Ariska … Pasti sulit …” Tambah Anggun.

Ternyata di luar, ayah sudah mendengar percakapan mereka tanpa disadari oleh mereka. Ayah terguncang mendengarnya. Ayah memejamkan matanya perlahan menenangkan dirinya hanya beberapa detik ayah membukakan matanya dan bersikap tak terjadi apa-apa.

“Assalammualaikum … Sore …” Sapa ayah dari luar rumah membawa setenteng plastik.

“Waalaikumsalam …” Serempak Anggun dan Gita menjawab.

“Sore …”Sahut Jodie.

“Wahhh kalian lagi ngerjain tugas apa ?” Tanya ayah yang mencoba bersikap hangat kepada teman-temanku.

Teman-temanku sontak kaget akan kehangatan ayah. Tepat saat itu aku muncul dari dapur membawa empat gelas jus mangga dan juga cemilan kue brownis.

“Lho, ayah udah pulang ?” Tanyaku yang terkejut.

“Iya, ayah kan mau temenin kalian ngerjain tugas. Oh iya, ini … Ayah beliin kalian sesuatu.” Sahut ayah sembari memberikan setenteng plastik yang dibawanya.

“Wah, pizza !!!” Seruku yang melihat isi plastik itu.

“Ayah tinggal dulu ya. Ayah mau mandi, soalnya bau asem ini.” Ucap ayah yang memberikan senyuman lebarnya dan beranjak pergi ke dalam rumahnya.

Anggun, Gita, dan Jodie hanya memandang keheranan melihat ayahku yang mengobrol dengan diriku. Aku yang merasa ada yang tak beres pada ketiga temanku itu pun bertanya kepada mereka, “Kenapa kalian keliatan bengong gitu ? Ahh … Ayahku ganteng ya !” Candaku.

“Bukan gitu … Ayahmu emang ganteng. Tapi bukan itu masalahnya.” Jawab Jodie dengan jujurnya.

“Ayahmu benar-benar hangat ya !” Ucap Gita yang disetujui dengan anggukan yang lainnya.

“Benar. Aku pikir ayahmu itu galak dan gak bersahabat soalnya dia terlalu protektif sama kamu, Ka …” Tambah Anggun.

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan teman-temanku itu, “Ayahku memang seperti itu. Makanya ayah seseorang yang spesial buatku deh.” Ucapku dengan sepenuh hati sehingga membuat Anggun, Gita, dan Jodie takjub dengan perkataanku.

Kami pun tak lama-lama berbasa-basi mengobrol ini itu karena kami langsung mengerjakan tugas dengan serius. Sering sekali kami berdiskusi masalah tugas. Sesekali di antara kani minum dan makan cemilan kue juga pizza sebagai energi untuk otak kami yang bekerja.

Dengan memakan waktu yang lama pun akhirnya tugas kami selesai juga. Kami merebahkan diri di bangku dengan rasa lelah. Hanya butuh beberapa menit, kami yang cukup menghilangkan rasa penatnya pun pamit untuk pulang. Karena hari sudah semakin larut maka ketiga temanku itu pulang dengan segera. Namun tak lupa kami membereskan ruang tamu dan makanan yang berserakan.

“Oh iya, ayahmu mana Ariska ? Kita mau pamit nih.” Tanya Anggun karena sedari tadi mereka tak melihat sosok ayah.

“Ahhh … Iya … Sebentar ya !” Aku pun masuk ke dalam dan mencari-cari sosok ayah.

“Ayah … Teman-temanku mau pulang !” Seruku sambil mencari-cari sang ayah yang belum aku temukan.

“Iya …” Ayah menjawab seruanku sembari ke luar dari kamarnya.

Aku pun mengikuti ayah dari belakang.

“Ayahnya Ariska, kami pulang dulu ya.” Ucap Anggun.

“Maaf ngerepotin jadinya.” Sahut Gita.

“Iya, terimakasih banyak.” Tambah Jodie yang disusul Anggun juga Gita.

“Sama-sama.” Sahutku.

“Kalian gak ngerepotin kita kok.” Tambah ayah.

Aku juga ayah mengantarkan mereka sampai depan pintu. Anggun, Gita, dan Jodie menaiki mobil merah. Jodie menyalakan mobilnya dan mengeluarkannya ke luar rumahku.

Aku dan ayah pun berjalan mengikuti mobil merah itu ke luar sampai depan pagar.

“Hati-hati yaa !!!” Seru ayah.

“Iya …” Sontak ketiganya menjawab.

“Assalammualaikum …” Serempak Anggun dan Gita.

“Malam …” Susul Jodie.

“Waalaikumsalam … Malam juga …” Jawabku juga ayah.

Jodie pun menancapkan gasnya. Aku dan ayah pun menutupi pagar lalu masuk ke dalam rumah.

Keesokkan harinya.
Aku yang sedang mempersiapkan sarapan hanya menoleh ke arah ayah yang sedang membaca koran. Ayah biasanya memperhatikanku membuat sarapan dan selalu mengkomplen kalau aku melakukan kesalahan saat membumbui masakan. Ada apa dengan ayah ya ?

Saat aku di kampus, aku seperti biasa mengabarkan setiap kegiatanku pada ayah. Tapi, ayah tak merespon. Aku hanya melamun memandangi ponselku.

“Hey, Ka ! Bengong aja. Kenapa ?” Tanya Anggun yang duduk di sebelahku.

“Kok kamu cuma sendiri ? Yang lain mana ?” Ariska balik bertanya.

“Biasa, lagi di kantin. Ada apa, Ka ? Apa yang kamu pikirin ?”

“Ayahku, Ngun.”

“Ada apa dengan ayahmu, Ka ?” Panik Anggun.

“Ayahku sikapnya beda, Ngun.”

“Beda gimana ?” Serius Anggun.

“Iya, ayahku gak ngekomplen bumbu masakanku, gak ngerespon kegiatanku.”

“Mungkin ayahmu lagi sibuk-sibuknya. Berprasangka baik aja.”

“Mungkin …” Aku menghela napas panjang.

Hari demi hari ayah sikapnya sangat berbeda dari ayah yang aku kenal selama ini. Aku selalu ingin bertanya langsung pada ayah, apa yang sebenarnya terjadi pada ayah ? Tapi aku mengurungkan niatku itu. Karena saat ayah pulang kerja ayah langsung masuk kamar dengan kantung matanya yang besar. Aku pikir ayah mungkin benar-benar sedang sibuk.

Namun ini sudah seminggu ayah seperti ini. Aku mulai mengkhawatirkan ayah. Aku menunggu ayah di depan ruang tamu. Dan saat ayah pulang aku memberikan beberapa pertanyaan pada ayah.

“Assalammualaikum …” Salam ayah saat masuk ke rumah.

“Waalaikumsalam …” Jawabku.

Aku pun berdiri dari bangku dan berdiri di depan ayah, “Ayah … Aku mau bicara sama ayah. Kenapa ayah gak seperti biasanya ? Apa ayah gak peduli sama Ariska lagi ?”

“Bukannya itu bisa buat kamu bebas dan gak ada beban ?” Ayah menatapku tanpa ekspresi.

“Ayah bilang apa sih ? Kenapa ayah bilang gitu ?”

Ayah tak menjawab dan hanya duduk di bangku, “Ariska, sini duduk.” Suruh ayah.

Aku pun sontak duduk di samping sang ayah.

“Apa kamu merasa beban punya ayah seperti aku ini ?” Tanya ayah dengan lembut.

“Maksud ayah apa ?” Aku balik bertanya karena kaget mendengar ayah yang berbicara seperti itu.

Ayah mengambil napas dengan berat, “Apa kamu merasa beban dan gak nyaman karena sikap ayah yang terlalu protektif sama kamu ?” Rinci ayah.

“A-ayah …” Aku tergetar bicaranya.

Ayah hanya menghela napas kemudian menatap mataku dengan dalam.
Aku yang tahu maksud ayah pun mencoba jujur, “Aku memang keberatan ayah. Awalnya itu wajar-wajar aja. Tapi makin aku dewasa sepertinya ayah makin membatasi aku.”

Ayah tertunduk menahan tangisnya dan juga rasa kecewanya mendengar perkataan yang jujur dariku, “Maafkan ayah, nak. Ayah hanya takut kehilangan orang yang ayah cintai untuk yang kedua kalinya. Ayah cukup menderita nak saat ibumu pergi untuk selama-lamanya. Tapi ayah sadar masih punya kamu satu-satunya yang berharga bagi ayah. Karena kamu mewarisi sikap ibumu.” Panjang ayah sampai berlinang air mata yang tak dapat ditahannya.

“Ayah … Percayalah padaku. InsyaAllah aku bisa jaga diriku. Bersikaplah seperti ayahku. Aku menyayangi ayah meskipun sikap ayah seperti itu padaku. Karena aku tau, ayah ngelakuin hal ini karena gak mau aku kenapa-kenapa kan ?” Aku pun ikut menangis dan memeluk sang ayah. Ayah pun membalas pelukan itu dengan ciuman dikeningku.

Beringin (Tidak) Tumbang

Dulu, kau tinggi menjulang
Kini, kau kalah di atas tanah
Dulu, kau elok di pandang
Kini, kau tak lebih dari sekadar batang patah

Dulu, kau berakar kekar, berbatang tegar
Kini, kau penuh luka, lemah tak berdaya
Dulu, kau jadi tempat favoritku bersandar
Kini, kau jadi arang dapur tetangga

Kenapa tumbang?!
Padahal, aku percaya beringinku takkan layu
Kenapa tumbang?!
Padahal banyak yang menaruh harapan padamu
Kenapa tumbang?!

Saat mata terbuka, aku lega..

Di tengah gempita zaman, kulihat ia masih berdiri melawan angin
Di tengah keegoisan manusia, kulihat ia tumbuh tak peduli
Bosan mungkin bosan, jengah pasti jengah
Tetapi aku percaya, beringinku tak akan layu bersama waktu

Ia akan tumbuh dewasa penuh cinta
Menjadi cantik dan hebat seperti yang lainnya
Kian tinggi penuh percaya diri
Semoga aku masih ada, melihat kau berbuah pertama kali